Konflik Palestina-Israel: Antara Sejarah, Kemanusiaan, Hukum Internasional, dan Isu Boikot Kontemporer
Konflik Palestina-Israel: Antara Sejarah, Kemanusiaan,
Hukum Internasional, dan Isu Boikot Kontemporer
Abstrak
Konflik Palestina-Israel telah berlangsung selama lebih dari satu abad dan
merupakan salah satu konflik terpanjang serta paling kompleks dalam sejarah
modern. Artikel ini menganalisis konflik dari tiga perspektif utama: akar
sejarah dan kolonialisme, dampak kemanusiaan, serta kerangka hukum
internasional.
Dengan menggunakan pendekatan kualitatif melalui studi pustaka, penelitian ini merujuk pada jurnal akademik, laporan lembaga internasional seperti PBB dan Amnesty International, serta konvensi internasional seperti Konvensi Jenewa. Hasil kajian menunjukkan bahwa konflik ini berakar dari kolonialisme, diwarnai oleh ketimpangan kekuasaan, dan diperparah oleh lemahnya penegakan hukum internasional. Solusi jangka panjang memerlukan pendekatan multidimensional dan dukungan komunitas global yang konsisten serta adil.
Hasil kajian menunjukkan bahwa konflik ini berakar
dari warisan kolonialisme dan proyek kolonisasi modern, diwarnai ketimpangan
kekuasaan antara Israel dan Palestina, serta diperparah oleh lemahnya penegakan
hukum internasional. Selain itu, konflik ini menimbulkan dampak kemanusiaan
yang mendalam, terutama bagi pengungsi Palestina, anak-anak, dan masyarakat di
Jalur Gaza yang mengalami blokade. Solusi jangka panjang memerlukan pendekatan
multidimensional yang adil dan inklusif, serta dukungan komunitas global untuk
menegakkan prinsip-prinsip keadilan dan hak asasi manusia. Gerakan boikot
terhadap produk Israel (BDS) muncul sebagai respons sipil global terhadap
ketidakadilan yang berlangsung.
1. Pendahuluan
Konflik Palestina-Israel merupakan simbol dari ketegangan antara identitas
nasional, ideologi keagamaan, dan kepentingan geopolitik. Sejak deklarasi
berdirinya Israel pada tahun 1948, konflik ini telah menyebabkan eksodus
besar-besaran rakyat Palestina (Nakba) dan menciptakan ketegangan internasional
yang terus berlangsung. Analisis akademik menunjukkan bahwa pendekatan yang
komprehensif dan adil dibutuhkan untuk memahami dan menyelesaikan konflik ini.
2. Akar Sejarah dan Kolonialisme
Gerakan Zionisme modern yang dimulai pada akhir abad ke-19 dan Deklarasi
Balfour 1917 menjadi dasar dukungan kolonial Inggris terhadap pendirian
"rumah nasional Yahudi" di Palestina. Migrasi besar-besaran Yahudi
dan ketegangan dengan penduduk Arab lokal memuncak setelah berakhirnya Mandat
Inggris dan deklarasi Israel sebagai negara pada 1948. Perang yang terjadi
menyebabkan pengusiran lebih dari 700.000 warga Palestina, yang hingga kini
menjadi pengungsi lintas generasi.
3. Pelanggaran HAM dan Dampak Kemanusiaan
Laporan UNRWA (2024) mencatat lebih dari 5,9 juta pengungsi Palestina yang
terdaftar. Jalur Gaza mengalami blokade total sejak 2007 oleh Israel dan
sebagian oleh Mesir, menyebabkan krisis kemanusiaan kronis:
-Akses air bersih hanya sekitar 3%
-Ketergantungan terhadap bantuan pangan melebihi 80% (WFP, 2022)
-Gangguan psikososial berat pada lebih dari separuh anak-anak (Save the
Children, 2023).
Laporan UNICEF (2021) dan Human Rights Watch menunjukkan bahwa anak-anak
Palestina menghadapi kekerasan, penahanan tanpa pengadilan, serta kehilangan
akses pendidikan akibat konflik dan kebijakan militer Israel.
4. Perspektif Hukum Internasional
Tindakan seperti pembangunan permukiman ilegal, serangan terhadap warga
sipil, dan penggunaan kekuatan berlebihan oleh militer Israel dapat
diklasifikasikan sebagai kejahatan perang berdasarkan Statuta Roma. Meskipun
Israel bukan anggota Mahkamah Pidana Internasional (ICC), yurisdiksi tetap
berlaku karena Palestina menjadi anggota pada 2015. Selain itu, pelanggaran
terhadap Konvensi Jenewa Keempat (1949) dan Resolusi PBB No. 242 dan 338
menunjukkan bahwa komunitas internasional telah mengidentifikasi pelanggaran
hukum, meskipun implementasinya lemah akibat veto negara adidaya di Dewan
Keamanan.
5. Upaya Perdamaian dan Tantangannya
Meskipun Perjanjian Oslo (1993) menjanjikan solusi dua negara, proses
perdamaian mandek karena berbagai faktor: ekspansi permukiman, kegagalan
implementasi kesepakatan, dan perubahan geopolitik seperti normalisasi hubungan
antara Israel dan negara-negara Arab (Abraham Accords, 2020). Ketidakpercayaan
antara pihak dan lemahnya tekanan internasional juga menjadi hambatan besar.
6. Peran Komunitas Internasional
PBB dan organisasi kemanusiaan internasional telah mengeluarkan puluhan
resolusi serta laporan, namun efektivitasnya terbatas. Laporan Amnesty
International (2022) bahkan menyebut sistem apartheid yang dilakukan terhadap
warga Palestina. Namun, pengaruh veto negara-negara kuat seperti Amerika
Serikat menjadi tantangan utama dalam upaya penegakan hukum dan keadilan.
Isu Kontemporer: Gerakan Boikot Produk Israel (BDS
Movement)
Gerakan BDS dimulai secara resmi pada tahun 2005 sebagai inisiatif
masyarakat sipil Palestina untuk menekan Israel secara ekonomi, budaya, dan
akademik hingga mematuhi hukum internasional. Tiga tuntutan utama gerakan ini
adalah:
1. Mengakhiri pendudukan dan kolonisasi semua tanah Arab yang diduduki sejak
1967.
2. Mengakui hak penuh warga Arab-Palestina di Israel.
3. Menjamin hak kembali bagi pengungsi Palestina.
Gerakan ini menuai dukungan luas di kalangan aktivis, akademisi, serta
masyarakat internasional, termasuk di negara-negara Eropa dan Amerika Latin.
Namun, pemerintah Israel dan beberapa negara Barat menganggap gerakan ini
sebagai antisemitisme terselubung. Di Indonesia, dukungan terhadap boikot
produk-produk Israel meningkat sejak 2023, terutama melalui media sosial.

7. Kesimpulan
Konflik Palestina-Israel adalah krisis multidimensi yang menyentuh aspek
sejarah kolonialisme, hak asasi manusia, dan pelanggaran hukum internasional.
Penyelesaian adil dan damai hanya dapat dicapai melalui pendekatan yang
inklusif, tekanan internasional yang konsisten, serta pengakuan terhadap hak rakyat
Palestina untuk menentukan nasib sendiri. Komunitas global memegang peran
penting dalam mendorong akuntabilitas dan perdamaian yang berkelanjutan.
Daftar Referensi
1.
Khalidi,
R. (2020). The hundred years' war on Palestine: A history of settler
colonialism and resistance, 1917–2017. Metropolitan Books.
2.
Pappé,
I. (2006). The ethnic cleansing of Palestine. Oneworld Publications.
3.
United
Nations Relief and Works Agency (UNRWA). (2024). Palestine refugees report.
4.
Amnesty
International. (2022). Israel’s apartheid against Palestinians: Cruel system
of domination and crime against humanity. amnesty.org
5.
Save
the Children. (2023). Trapped: The psychological impact of the Gaza blockade
on children.
6.
Human
Rights Watch. (2021). A threshold crossed: Israeli authorities and the
crimes of apartheid and persecution.
7.
International
Criminal Court (ICC). (2021). Jurisdiction over the situation in Palestine.
8.
United
Nations General Assembly. (Various resolutions on Palestine).
9.
Khatib,
L. (2014). The Oslo Accords: A critical assessment. Journal of Palestine
Studies, 43(3), 22–35.
10. UNICEF. (2021). State of Palestine country report
on children.
11. Barghouti, O. (2011). Boycott, divestment,
sanctions: The global struggle for Palestinian rights. Haymarket Books.
12. Erakat, N. (2019). Justice for some: Law and the
question of Palestine. Stanford University Press.
13. Palestinian BDS National Committee. (2005). Retrieved
from https://bdsmovement.net
14. Al Jazeera. (2023, May 15). What to know about the
boycott of Israel-linked products. Retrieved from https://www.aljazeera.com/news/2023/5/15/what-to-know-about-the-boycott-of-israel-linked-products:contentReference[oaicite:58]{index=58}
15. The Guardian. (2023, May 15). Boycotts, brands, and
the battle for public opinion in the Israel-Palestine conflict. Retrieved from https://www.theguardian.com/world/2023/may/15/boycotts-brands-and-the-battle-for-public-opinion-in-the-israel-palestine-conflict:contentReference[oaicite:62]{index=62}
Komentar
Posting Komentar