Mengungkap Kembali Sejarah Kelam Kasus Terbesar Kekerasan Seksual Pada Tahun 1998
Dari data BBC News Indonesia, tercatat 85 kasus kekerasan seksual, yang mayoritas korbannya adalah perempuan keturunan Tionghoa di Jakarta, tragedi kerusuhan 13-15 Mei 1998 mencatat setidaknya 52 perempuan korban pemerkosaan yang melibatkan banyak orang, hasil dari penyelidikan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Berdasarkan hasil laporan resmi dan organisasi HAM, tercatat 52 pemerkosaan dan 168 kasus kekerasan seksual di kota lain. Media seperti The New York Times serta Komnas Perempuan mengabadikan berbagai kasus, kontroversi dari beberapa pihak seperti salah satu politikus yaitu Fadli Zon yang menentang bahwa tidak ada terjadinya pemerkosaan massal pada tahun 1998, menurutnya tidak adanya bukti kekerasan terhadap perempuan maupun pemerkosaan massal dalam tragedi 1998. Fadli menyatakan bahwa pemerkosaan massal hanyalah rumor semata, dan tidak pernah terdapat catatan pada buku sejarah, namun hal itu ditentang keras oleh berbagai pihak terkait meliputi organisasi warga sipil maupun individu bahkan di kritisi lembaga negara independen yang merupakan komnas Perempuan. Tercatat 547 warga sipil maupun organisasi yang menilai bahwa Fadil merupakan seseorang yang manipulatif, karena ia menutupi kebenaran sejarah kelam atas tragedi ketidakkemanusiaan khususnya terhadap perempuan ditahun 1998.
TGPF menemukan fakta bahwa latar belakang pelaku peristiwa tersebut berkaitan dengan pemerintahan, HAM, LSM, dan organisasi masyarakat. TGPF yakin bahwa hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari konteks situasi dan kondisi sosial politik masyarakat Indonesia pada dekade tersebut. Peristiwa ini berkaitan dengan peristiwa sebelumnya terkait pemilu, krisis ekonomi, penculikan, aktivis, mahasiswa yang melakukan demo terus menerus, dan penembakan aparat kepada mahasiswa Universitas Trisakti. Puncaknya terjadi tindak kekerasan besar pada tanggal 13-15 Mei 1998. TGPF mendapatkan data dari berbagai sumber yang terverifikasi dengan melakukan wawancara kepada pejabat, mantan pejabat, warga sipil, ABRI Angkatan bersenjata Republik Indonesia, serta melakukan pertemuan Lembaga Profesi saksi ahli. Mereka juga melakukan observasi kunjungan lapangan ke lokasi terkait untuk menyusun ulang alur peristiwa, melakukan analisis, membuat kesimpulan atas temuannya, mengungkap perkara sebenarnya, serta menyusun kebijakan dan kelembagaan. Kegiatan penyelidikan terbagi menjadi tiga tim TGPF yang bertugas mengumpulkan fakta korban, testimoni, dan verifikasi. Terdapat 10 pejabat yang memberikan kesaksian terkait pertanggungjawaban pada tragedi kelam kerusuhan 13-15 Mei 1998 kepada tim testimoni, diantara pejabat tersebut 2 diantaranya Mayjen TNI, Pangdam Jaya pada saat kerusuhan, dan Letjen TNI Pangkostrad pada saat kerusuhan.
Hasil data terdapat bentuk kekerasan seperti pemerkosaan,
penganiayaan, pelecehan seksual, serta penyerangan. Hasil tersebut diuji silang
dengan data-data yang ada dan diverifikasi karena TGPF tidak mudah menyimpulkan data yang diperoleh yang akurat untuk menghitung total korban kekerasan
seksual salah satunya kategori pemerkosaan. dari hasil tersebut, ditemukan
tindak kekerasan yang ada di kota Jakarta, Medan, Surabaya, dan sekitarnya.
Jumlah korban yang terverifikasi oleh TGPF ada
akhir masa kerjanya
terdapat 14 korban pemerkosaan
dengan penganiayaan, 9 korban pelecehan seksual, 52 korban pemerkosaan, dan 10 korban
penganiayaan seksual. Kekerasan tersebut terjadi di jalan tempat usaha maupun rumah korban, namun
sebagian besar kasus pemerkosaan terjadi di dalam rumah maupun gang rape yang memiliki arti pemerkosaan
berkelompok dimana korban di perkosa oleh beberapa orang di waktu bersamaan
secara bergantian, pemerkosaan tersebut dilakukan di hadapan para pelaku
lainnya. Sebelum terjadinya kerusuhan pada bulan Mei 1998 dan setelah bulan Mei
1998, TGPF mendapatkan korban kekerasan seksual, saat melakukan kunjungan ke
daerah Medan terdapat laporan bahwa ada ratusan korban yang terjadi pada
kerusuhan tanggal 4-8 Mei 1998 dan setelah terjadinya kerusuhan di bulan Mei
terdapat beberapa kasus lainnya lagi salah satunya di Kota DKI Jakarta, 2 kasus di tanggal
2 Juli 1998, dan 2 lagi terjadi di Solo pada 8 Juli 1998 dalam hasil
tersebut terdapat dalam laporan TGPF yang mayoritas korban berasal dari etnis
Cina namun tidak semuanya berasal dari perempuan beretnis Cina karena korban
kekerasan ini diambil dari lintas kelas sosial.
Kami dari bidang IMMawati menyimpulkan dari kasus ini dari perspektif psikologi dalam teori Cognitive Dissonance Theory dari Leon Festinger, menjelaskan bahwa seseorang akan merasa tidak nyaman Ketika pendapat yang dia rasakan bertentangan dengan masyarakat. Dalam kasus ini, Fadli Zon merasa dilema antara mempertahankan citra nasionalisme bangsa Indonesia atau dia ingin mempertahankan nama baik jabatan yang sedang dia jalani, dengan kenyataan yang pahit bahwa bangsa Indonesia pernah gagal melindungi warganya. Fadli zon menghindari rasa bersalah atau konflik yang ada pada batinnya, salah satu caranya adalah dengan menyangkal atau menghindari, membicarakan fakta yang menyakitkan dengan mengatakan bahwa kasus ini adalah hanya rumor semata. Kemudian apabila dilihat dari Teori Identitas Sosial milik Henri Tajfel, seseorang cenderung ingin melindungi nama baik kelompoknya seperti Fadli Zon yang ingin melindungi nama baik jabatan atau kelompok yang sedang dia jalani. Ada kemungkinan Fadli Zon menganggap bahwa apabila dia melakukan pengakuan terhadap peristiwa kekerasan seksual pada tahun
1998
akan membuat citra bangsa atau kelompok tertentu jadi buruk. Maka dari itu, dia
memilih untuk membelokkan atau bahkan menolak narasi tersebut demi menjaga reputasi
kelompok asalnya. Selain itu, jika dilihat
dalam teori dari Freud yakni
mekanisme Pertahanan Diri yang menyebutkan penyangkalan denial. Ini sering
terjadi saat seseorang yang tidak siap menerima kenyataan pahit, lalu
memilih buat ‘tutup mata’ atau memutar
balikan fakta agar tidak perlu merasa bersalah atau cemas. Dalam kasus Fadli Zon ini, mungkin saja Fadli secara tidak sadar menolak mengakui peristiwa itu
karena tidak ingin menghadapi
kenyataan bahwa negara atau pihak yang dia dukung punya sejarah yang kelam.
Kesimpulan yang bisa kita ambil adalah sikap Fadli Zon yang
seolah olah dia melakukan pembolak balikan dan menutupi kasus kekerasan seksual
pada tahun 1998 tidak semata-mata berkaitan dengan kepentingan politik, tetapi
juga bagaimana seseorang dalam menghadapi konflik batin untuk melindungi nama
baik kelembagaan dan upaya untuk mempertahankan diri. Sebagai mahasiswa sangat
penting bagi kita untuk tetap kritis dan empatik dalam kasus seperti ini, serta
kita harus berani untuk belajar dan mencari tahu tentang bagaimana sejarah negara kita, kita juga harus tetap
mengakui sejarah meskipun dibalut dalam cerita yang pahit namun demi keadilan
bagi korban dan pembelajaran untuk bangsa.
Sumber:
BBC
News Indonesia. (14 Juni 2025). Fadli Zon klaim pemerkosaan dalam Kerusuhan Mei
98 'rumor' dan 'tak ada bukti', aktivis perempuan sebut 'manipulasi dan
pengaburan sejarah'. Diakses pada 18 Juni 2025.
https://www.bbc.com/indonesia/articles/c4gen0d3qr8o.
CNN Indonesia. (15 Juni 2025).
Temuan TGPF Terkait
Kekerasan Seksual '98 Anulir
Pernyataan Fadli Zon. Diakses pada 18 Juni 2025.
Komentar
Posting Komentar